Peringatan 10 Oktober 2021, Bukti Penegakkan HAM di Indonesia Masih Menjadi Tanda Tanya Besar

Komap Fisipol UGM
8 min readOct 10, 2021

Oleh: Dhestia Arrizqi Haryanto & Irvan Fadhil

Suara gemuruh helikopter terdengar bersaut-sautan di udara Cilacap, di suatu hari tahun 2014. Beberapa kali dan sangat mengganggu. Ternyata, gerombolan besi terbang tersebut membawa terpidana yang akan mendapatkan hukuman mati ke Nusakambangan serta orang-orang yang bertugas dalam pelaksanaan hukuman tersebut. Berita hukuman mati di televisi saat itu menjadi pilihan berita paling utama. Pejabat dengan bangganya mengatakan bahwa hukuman mati itu bentuk dari perang melawan narkoba! Hingga sekarang, sudahkah berhasil perang tersebut? Atau justru pengedar narkoba bertambah banyak, walau sudah ditakut-takuti dengan vonis hukuman mati? Apakah hukuman mati merupakan bentuk dari keputusasaan pemerintah untuk menyelesaikan perkara pengedaran narkotika di Indonesia yang kian masif? Atau karena Pemerintah malas mencari alternatif penyelesaian, sehingga memilih jalan mudah dengan menghukum mati?.

Peringatan Hari Anti-hukuman Mati Internasional: Bagaimana Indonesia?

19 tahun yang lalu, tepatnya 5 oktober 2002, pertama kali ditetapkannya tanggal tersebut menjadi hari anti-hukuman mati sedunia oleh World Coalition Against Death Penalty (World Coalition Against the Death Penalty, 2020). Peringatan hari anti-hukuman mati sedunia ini diperingati setiap tahun dengan mengangkat tema yang berbeda-beda. Penetapan tersebut menjadi simbol pergerakan bagi komunitas-komunitas di seluruh dunia yang menolak pemberlakuan hukuman mati. Tujuannya adalah agar tidak ada lagi negara yang menerapkannya. Namun, hingga hari ini, perjuangan belum selesai. Masih saja ada negara-negara yang belum mencabut hukuman mati. Hingga tahun 2020, masih ada 53 negara di dunia yang menerapkan pidana hukuman mati dengan menggunakan metode yang berbeda-berbeda, termasuk Indonesia (Webb et al., 2020).

Kenaikan Jumlah Vonis Hukuman Mati Terus Bertambah di Indonesia

Sudah 1 abad lebih komunitas anti-hukuman mati berjuang untuk mengembalikan HAM ke jalur yang benar, tetapi masih banyak negara yang menerapkan hukuman mati. Salah satunya adalah Indonesia. Bahkan, dari tahun ke tahun jumlah vonis hukuman mati di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari grafik berikut:

Sumber: (Amnesty International, 2020)

Dalam grafik tersebut, tahun 2020 menunjukkan angka vonis paling banyak, yaitu lebih dari 86 vonis. Hal ini cukup mencengangkan, mengingat tahun 2020 merupakan tahun yang sulit untuk semua pihak karena adanya pandemi covid-19 yang juga bersangkutan dengan hak asasi manusia. Batas masa kuliah S1 saja diperpanjang dari 5 tahun ke 7 tahun, kenapa penetapan terpidana hukuman mati terus bertambah?

Kenaikan tren vonis hukuman mati di Indonesia membuktikan kurangnya tekad pemerintah dalam menegakkan HAM. Hak untuk hidup sendiri sudah jelas tercantum dalam pasal 28A UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”(Wulandari, 2021). Namun, adanya hukuman mati di pemerintahan Indonesia seperti berbanding terbalik dengan adanya vonis hukuman mati. Padahal, di tahun 2014, pemerintahan yang terpilih saat ini berjanji untuk menjunjung tinggi HAM, tetapi dengan begitu mudah memberikan hukuman mati. Seharusnya, ketika seseorang benar-benar dianggap pantas mendapat hukuman mati, hakim tidak memiliki lagi keraguan atas tindakan yang dilakukan orang tersebut.

Hak untuk Hidup adalah Hak Setiap Manusia

Dalam hak universal yang dideklarasikan oleh PBB tahun 1948, tercantum jelas di dalam pasal 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu” (United Nations, 1948). Hal ini harusnya kita junjung tinggi dan sadari bersama bahwa tidak ada orang lain yang berhak atas hak hidup orang lain, karena hak hidup sudah ada sejak manusia dilahirkan dan akan selalu melekat membersamai manusia.

Kerumitan Birokrasi Pelaksanaan Hukuman Mati: Mahal!

Diskriminasi. Hukuman mati merupakan hukuman yang sangat biadab, sehingga sebut saja sebagai hukuman yang mendiskriminasi. Belum lagi kecakapan sistem pemerintahan Indonesia untuk benar-benar menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran dalam persidangan masih sangat harus dipertanyakan. Seperti tragedi yang dialami Merri Utami, 5 tahun silam. Merri diberi hadiah tas oleh temannya dari Kanada yang ternyata berisi heroin seberat 1,1 kg (Budiman et al., 2020). Menurut (Budiman et al., 2020), barang bukti yang ada di dalam tasnya membuat Merri Utami divonis mati. Padahal, faktanya Merri adalah korban dari temannya dan Merri tidak tahu-menahu tentang heroin yang ada di dalam tasnya. Perihal ini menunjukkan ketidakadilan, diskriminasi gender, dan kerumitan sistem bercampur menjadi satu. Apalagi, pada saat Merri diberi tahu akan dihukum mati, dia sedang menunggu grasi dari Presiden Joko Widodo yang seharusnya pelaksanaan eksekusi harus menunggu keputusan presiden dahulu (Budiman et al., 2020). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi menjelaskan bahwa terpidana mati yang telah mengajukan grasi tidak dapat dieksekusi hingga diterimanya keputusan dari presiden. Walau akhirnya, penghukuman mati Merri ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.

Antre. Itu juga satu kata yang mewakili pelaksanaan hukuman mati. Belum lagi terdengar setelah di tahun 2014 dan 2015 akan ada pelaksanaan eksekusi mati. Angka vonis bertambah, tapi belum tahu pelaksanaannya kapan. Bahkan menurut (Budiman et al., 2020), banyak dari terpidana mati yang sudah menunggu hampir 10 tahun tapi tidak ada kejelasan kapan akan dieksekusi. Mereka mengantre dengan tegang menunggu gilirannya, tanpa kepastian. Beratus-ratus orang menunggu untuk pelaksanaan hukuman mati di balik sel tahanan yang sempit.

Mahal. Melansir dari laman (Rizki & Istman, 2016), pelaksanaan hukuman mati di Februari 2015 menghabiskan total Rp2 miliar untuk mengeksekusi 10 orang terpidana yang dananya berasal dari APBN. Per bulan oktober 2020 saja, ada 355 orang yang mengantri untuk dihukum mati, lalu berapa biaya lagi yang harus dikeluarkan hanya untuk menghilangkan nyawa orang? Dari mana uang sebanyak itu? Hutang, (lagi)?

Alat politik penguasa. Di tahun 2014, ketika Presiden Joko Widodo masih berkampanye, dia berjanji untuk memberantas narkoba hingga ke akar-akarnya dengan mengagung-agungkan keberadaan hukuman mati. Di mana, narkoba memang menjadi momok yang sangat sulit untuk ditangani dan dikendalikan oleh Indonesia sejak dahulu. Oleh karena itu, rakyat memberikan kepercayaan dengan harapan anak muda bangsa tidak ada lagi yang candu dengan narkoba. Namun, ketika rakyat sudah memberikan kepercayaan, tren penggunaan dan peredaran narkoba tidak kunjung terkendali hingga dari tahun ke tahun kasusnya selalu menanjak. Oleh sebab itu, kesimpulannya, pemerintah menyusun kebijakan hukuman mati bukan untuk pemberantasan narkoba, tetapi hanya menarik simpatisan masyarakat untuk mendukungnya. Iya, ‘kan?

Tidak Adanya Bukti bahwa Hukuman Mati Dapat Membuat Negara Bersih dari Kejahatan

Kejahatan yang diganjar dengan hukuman mati di Indonesia meliputi korupsi, pembunuhan berencana, terorisme, dan penyalahgunaan narkoba. Sebagai masyarakat, kita bisa mengawal perkembangan kasus kejahatan tersebut di lima tahun terakhir ini. Vonis hukuman mati bertebaran, tetapi apakah hal tersebut mampu menekan lima kejahatan tersebut? Bahkan kasus korupsi para pejabat makin terorganisir dan melibatkan sekelompok pejabat dengan nilai yang sangat merugikan negara, pembunuhan berencana marak terjadi, hingga kasus narkoba yang masih terus melebarkan sayapnya di tengah masyarakat. Bahkan di dua tahun terakhir ketika dilanda pandemi, kejahatan yang dianggap luar biasa tersebut terus melonjak. Dari seluruh hasil riset tentang efektivitas hukuman mati, memang menyebutkan bahwa tidak ada bukti mengenai hukuman mati dapat membersihkan suatu negara dari kejahatan. Negara-negara yang sekarang masuk dalam negara paling aman, mereka lah yang tidak menerapkan hukuman mati. Berikut daftar negara yang menempati peringkat terbaik dalam Corruption Perseption Index tahun 2019 yang artinya negara yang paling rendah tingkat korupsinya, sekaligus tidak menerapkan hukuman mati. Terdapat juga perbandingan antara negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati dengan peringkat CPI yang rendah.

Sumber: (Budiman et al., 2020)

Rekomendasi Tindakan untuk Pemerintah

1.Tegakkan Supremasi Hukum

Banyak masyarakat yang mendukung pemberian hukuman mati kepada pelaku kejahatan luar biasa, terutama korupsi. Hal ini terjadi lantaran telah terjadi desterado atau keputusasaan terhadap penegakan hukum yang menjunjung tinggi nilai keadilan pada masyarakat. Bagaimana bisa seorang koruptor, seperti Juliari Batubara, yang telah merugikan negara miliaran rupiah hanya mendapat vonis hukuman penjara 12 tahun dan denda Rp500 juta? Mari bandingkan dengan Nenek Asyani yang mendapat vonis hukuman penjara 1 tahun 3 bulan dan denda 500 juta hanya karena mencuri batang kayu jati milik Perhutani (Firdaus, 2015). Baik Juliari maupun Asyani sama-sama salah di mata hukum, tetapi pantaskah vonis yang diterima mereka? Hukuman berupa 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta rasanya tidak sebanding dengan apa yang telah diambil oleh Juliari. Ia juga akan berada di sel khusus dengan segala kemewahan yang tidak akan didapatkan di sel pada umumnya. Sementara Asyani yang hanya merugikan Perhutani beberapa batang kayu jati harus mendekam di teralis besi yang dingin dengan denda yang sama banyaknya dengan Juliari. Di mana letak keadilan? Juliari jelas pantas untuk mendapat hukuman penjara yang lebih lama, terlebih ia dengan sadar melakukan korupsi di tengah kondisi bencana. Berapa banyak anak yang akan kenyang seandainya Juliari tidak melakukan korupsi? Sementara Asyani, pantaskah ia mendapat hukuman seberat itu di usianya yang sudah sangat tua? Ketidakadilan inilah yang menyebabkan banyak masyarakat yang mendukung hukuman mati lantaran kecewa dengan penegakan hukum di Indonesia. Menegakkan supremasi hukum adalah harga mati.

2.Beri sosialisasi kepada masyarakat

Penegakan supremasi hukum akan semakin lengkap apabila masyarakat memahami peradilan dan HAM. Masyarakat yang menjadi floating mass hanya akan memperburuk penegakan HAM di Indonesia. Untuk itu, sosialisasi mengenai HAM kepada masyarakat dapat menjadi hal yang sangat penting. Selain itu, seringkali agama menjadi pembenaran untuk melakukan hukuman mati. Namun, perlu diingat bahwa masih ada cara lain untuk menghukum pelaku kejahatan luar biasa. Masyarakat juga perlu paham, pemberian hukuman mati tidak akan memperbaiki apapun dan tidak memberikan efek jera sedikitpun.

3.Segera hapus hukuman mati

Menghapus pemberian hukuman mati harus dilakukan oleh negara. Terlalu banyak alasan untuk melakukan hal itu, seperti tidak efektif memberikan efek jera, menghabiskan anggaran, serta melanggar HAM. Di lain sisi, hukuman mati biasanya diberikan untuk kasus kejahatan yang sistemik atau kejahatan yang melibatkan banyak pihak, sehingga menghilangkan nyawa satu atau dua pelaku kejahatan tidak akan memutus rantai kejahatan yang lebih besar. Terpidana seharusnya dapat dijadikan sebagai justice collaborator sehingga dapat mengungkap kejahatan yang lebih besar.

4.Tinjau kembali dan berikan kehidupan yang layak bagi terpidana yang sudah divonis mati

Menghapus hukuman mati dari sistem peradilan yang ada di Indonesia tentu bukan hal yang mudah. Selalu muncul perdebatan untuk hal tersebut. Sembari menunggu hal itu terjadi, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk melakukan peninjauan kembali dan memberikan kehidupan yang layak bagi mereka yang saat ini sudah divonis hukuman mati. Mereka juga manusia yang punya keluarga. Beri mereka waktu untuk bertemu dengan keluarganya. Selain itu, peninjauan kembali juga harus dilakukan. Bukan tidak mungkin bahwa terpidana hukuman mati bukanlah pelaku kejahatan yang sebenarnya. Menghilangkan hak hidup orang, terlebih bagi orang yang sama sekali tidak bersalah, akan menjadi dosa besar bagi negara.

DAFTAR PUSTAKA

Amnesty International. (2020). Laporan Global Amnesty Internasional Hukuman dan Eksekusi Mati 2020. In Amnesty Internasional. Amnesty International. https://www.amnesty.id/wp-content/uploads/2021/04/042121_Death-Penalty-Report-2020_FINAL.pdf

Budiman, A. A., Kamilah, A. G., Maya, G. A., Iftitahsari, & Rahmawati, M. (2020). Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020: Mencabut Nyawa di Masa Pandemi (E. Napitulu (ed.)). Institute for Criminal Justice Reform. https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Final-Laporan-Pidana-Mati-2020-ICJR.pdf

Firdaus, H. (2015, April 23). Nenek Asiani Dinyatakan Bersalah. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150423151941-12-48782/nenek-asiani-dinyatakan-bersalah

Rizki, M., & Istman. (2016, July 25). Hukuman Mati Ternyata Tak Murah, Ini Rincian Biayanya. Tempo.Co. https://nasional.tempo.co/read/790349/hukuman-mati-ternyata-tak-murah-ini-rincian-biayanya

United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. United Nations. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

Webb, S., Christodoulou, H., & Rogers, J. (2020, December 4). Which countries have the death penalty and how many people are executed every year? The Sun. https://www.thesun.co.uk/news/2525739/countries-death-penalty-how-many-people-executed-world/

World Coalition Against the Death Penalty. (2020). Presentation & History. World Coalition Against the Death Penalty. https://worldcoalition.org/who-we-are/presentation-history/

Wulandari, T. (2021, September 13). Makna Pasal 28 dalam UUD 1945 untuk Hak Asasi Manusia. Detik.Com. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5721614/makna-pasal-28-dalam-uud-1945-untuk-hak-asasi-manusia

--

--